Monday, August 06, 2018

(Literature Review) Bioremediasi Pada Tambak Udang

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Akuakultur adalah sektor pangan yang sangat cepat pertumbuhannya di dunia. Sebelumnya, akuakultur dianggap sebagai aktivitas yang lebih ramah lingkungan karena sistem polikulturnya dan sistem budidaya terintegrasi yang berbasis pada penggunaan sumberdaya yang optimum. Peningkatan produksi dalam akuakultur yang terus berkembang menyebabkan terjadinya ekspansi lahan tanah dan air yang semakin luas. Penggunaan teknologi dan intensifitas tinggi pada budidaya ikan dan udang menyebabkan peningkatan input air, pakan, pupuk, dan bahan-bahan kimia lainnya. Akibatnya, akuakultur kini dianggap berpotensi besar menjadi polutan bagi lingkungan perairan serta menyebabkan degradasi pada lahan basah (Anthony & Philip, 2006).

Kondisi fisika, kimia, dan biologi pada lingkungan budidaya memberikan dampak bagi kesehatan dan produktivitas udang. Pemaparan bahan toksik seperti hidrogen sulfida, amonia, dan karbon dioksida dapat menyebabkan stres yang diikuti dengan munculnya penyakit (Moriarty, 1999). Pada dasarnya, tipe limbah yang diproduksi oleh berbagai macam aktivitas akuakultur kurang lebih sama. Namun, terdapat perbedaan dari kualitas dan kuantitas dari komponen limbah tergantung pada organisme apa yang dibudidayakan dan sistem budidaya yang digunakan. Limbah yang berasal dari hatchery dan budidaya udang dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.      Sisa pakan dan feses
2.      By-product metabolisme
3.      Residu biosida
4.      Limbah pupuk
5.      Limbah dari proses moulting
6.      Blooming alga yang mati dan mengendap di dasar (Collapsing algal blooms)
(Anthony & Philip, 2006)

Pendekatan terkini untuk meningkatkan kualitas air pada tambak udang adalah mengaplikasikan mikroorganisme atau enzim ke dalam tambak yang disebut bioremediasi. Gabungan antara makro dan mikroorganisme atau produk mereka akan meningkatkan kualitas air. Penggunaan bioremediasi menurunkan akumulasi lumpur dan bahan organik pada dasar tambak, meningkatkan penetrasi oksigen, dan memberikan lingkungan yang lebih baik bagi udang (Ranjan et.al., 2014).

1.2 Tujuan Ulasan
Adapun tujuan dari ulasan ini adalah sebagai berikut:
1.    Mengetahui pengaruh bioremediasi pada tambak udang
2.    Mengetahui hasil berbagai penelitian mengenai bioremediasi pada tambak udang
3.    Mengetahui produk-produk bioremediasi
4.    Mengetahui efek bioremediasi pada budidaya udang
5.    Mengevaluasi penggunaan bioremediasi pada tambak udang

2. Aplikasi Bioremediasi pada Tambak Udang
2.1 Definisi Bioremediasi
Bioremediasi berasal dari kata bio dan remediasi atau “remediate” yang artinya menyelesaikan masalah. Secara umum bioremediasi dimaksudkan sebagai pemanfaatan organisme dan/atau produknya untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan atau untuk menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air permukaan sehingga lingkungan tersebut kembali bersih dan alamiah. Salah satu proses bioremediasi yang terkenal adalah bioremediasi terhadap tumpahan minyak di laut (Hafiluddin, 2011) (Westermeyer et al., 1991).
Proses bioremediasi ini dapat dilakukan secara bioaugmentasi, yaitu penambahan atau introduksi satu jenis atau lebih mikroorganisma baik yang alami maupun yang sudah mengalami perbaikan sifat (improved / genetically engineered strains). Selain itu dapat dilakukan biostimulasi, yaitu suatu proses yang dilakukan melalu penambahan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh mikroorganisme atau menstimulasi kondisi lingkungan sedemikian rupa (misalnya pemberian aerasi) agar mikroorganisma tumbuh dan beraktivitas lebih baik (Hafiluddin, 2011).
Bioremediasi merupakan sistem pengembalian kondisi lingkungan yang sudah tercemar agar dapat dikembalikan pada kondisi awal. Teknik bioremediasi pada tambak udang secara prinsip adalah dengan menambahkan mikroorganisme tertentu untuk menormalkan kembali tambak udang yang telah rusak akibat tingginya senyawa metabolitoksik terutama amoniak dan nitrit (Badjoeri & Widiyanto, 2008) (Seema & Jayasankar, 2005). Metode Bioremediasi juga mampu menghilangkan H2S yang bersifat toksik/beracun pada sedimen tambak serta menekan jumlah bakteri vibrio yang dapat menimbulkan penyakit pada udang windu (Moriarty, 1999).
Dalam kasus pertambakan udang, sedimen merupakan “lingkungan” yang akan diperbaiki. Dalam usaha melakukan remediasi pada lingkungan tambak, perlu dilakukan analisa menyeluruh akan kandungan berbagai bahan organik dan anorganik yang terdapat pada lingkungan tambak (Ranjan et al., 2014)

2.2 Produk-produk Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses yang biasanya dilakukan oleh organisme-organisme yang mampu memproduksi enzim-enzim tertentu untuk meremediasi (mengembalikan) lingkungan yang rusak (Setyawan, 2012). Pengaplikasian bioremediasi tidak lepas dari produk-produk bioremediasi yang ada secara komersil, sehingga bioremediasi merupakan aktivitas yang mudah di akses oleh berbagai kalangan pembudidaya ikan dan udang (Moore, 2003).

2.2.1 Agen Bioremediasi
Organisme bioremediator memiliki kemampuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan perairan yang rusak. Kebanyakan dari mereka biasanya adalah bakteri, mikro alga, dan rumput laut (seaweed). Bakteri merupakan mikroorganisme yang paling sering dipakai sebagai bioremediator karena praktis dan tidak rumit dalam pengaplikasiannya (Paniagua-Michel & Garcia, 2003).

Tabel 1. Beberapa spesies bakteri agen bioremediasi
Bioremediator
Sumber
Digunakan untuk
Metode aplikasi
Gram Positif
Bacillus sp.
Produk komersial
Centropomus undecimalis, penaeid, channel catfish
Disebarkan ke air
Bakteri kultur campuran, tapi kebanyakan adalah Bacillus sp.
Produk Komersil
Brachionus plicatilis
Dicampurkan dengan air
Gram Negatif
Aeromonas CA2
Tidak diketahui
Crassostrea gigas
Dicampurkan dengan air
Photorhodobacterium sp.
Tidak diketahui
Penaeus chinensis
Dicampurkan dengan air
Pseudomonas fluorescence
Onchorhynchus myskiss
Onchorhynchus myskiss
Dicampurkan ke air hingga 105 atau 106 sel/ml
Pseudomonas sp.
Onchorhynchus myskiss
Onchorhynchus myskiss
Dicampurkan dengan air
Roseobacter sp. B5 107
Tidak diketahui
Larva Scallop
Dicampurkan dengan air
(Anthony & Philip, 2006)

Bakteri bioremediator diisolasi dari lingkungannya untuk dikembangbiakkan dan dijadikan produk komersial. Kebanyakan bakteri merupakan bakteri umum yang ada di alam. Beberapa bakteri yang telah umum digunakan sudah banyak digunakan sehingga ditakutkan akan mengganggu keseimbangan ekologis. Oleh karena itu, pengisolasian dan pengembangan bakteri lokal diperlukan untuk aplikasi bioremediasi terkini (Ranjan et al., 2014).
Rumput laut (makro alga) juga merupakan agen bioremediasi yang penting untuk lingkungan, karena memiliki kemampuan fotosintesis serta kandungan metabolit sekunder yang tinggi (Cung et al., 2002). Rumput laut juga berperan sebagai filter yang mampu membersihkan kandungan bahan organik di perairan laut (Izzati, 2009). Sistem budidaya polikultur di laut sudah dilakukan oleh negara-negara maju dengan memanfaatkan spesies rumput laut dan disandingkan dengan budidaya kerang dan abalon (Su et al., 2011).

Tabel 2. Beberapa spesies rumput laut agen bioremediasi
Spesies
Tipe
Porphyra tenera
Alga merah
Porphyra seriata
Alga merah
Ulva pertusa
Alga hijau
Hypnea charoides
Alga merah
Gracilaria verrucosas
Alga merah
Gracilaria textorii
Alga merah
Sargassum plagyophullum
Alga coklat
Gracilaria verucosa
Alga merah
Gracilaria caudata
Alga merah
(Anthony & Philip, 2006) (Izzati, 2009) (Marinho-Soriano et al., 2008)

Selain bakteri dan alga, juga dapat digunakan bahan-bahan yang berfungsi sama untuk bioremediasi. Sebagai contoh, penggunaan kalsium peroksida (CaO2) pada tambak udang mampu meremediasi sedimen dasar air dengan mendegradasi bahan organik seperti karbon, nitrogen, dan posfor (Hanh et al., 2008). Kelompok kerang-kerangan juga dapat digunakan sebagai biofilter di perairan, contohnya adalah kerang kima dewasa Chione fluctifraga dapat digunakan untuk mengontrol bahan-bahan organik terlarut di tambak udang (Martínez-Córdova et al., 2010)

2.2.2 Pengaplikasian Bioremediasi
Sistem kerja dalam penggunaan bakteri dalam usaha budidaya udang dalam tambak adalah dengan penggunaan konsorsia bakteri remediasi. Konsorsia ini terdiri dari berbagai jenis bakteri yang telah ditemukan yaitu bakteri heterotrofik, bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi, serta bakteri fotosintetik anoksigenik (Komarawidjaja, 2003).
·       Bakteri denitrifikasi dan nitrifikasi untuk mengendalikan nitrogen, amoniak, nitrat, dan nitrit yang ada di tambak.
·       Bakteri fotosintetik anoksigenik untuk mengatur hidrogen sulfida (H2S) dan sebagai pakan tambahan karena banyak mengandung karotenoid.
·       Bakteri heteroptrofik untuk mengontrol karbon dan senyawa organik dari sisa pakan.
·       Bakteri fermentasi untuk menghilangkan senyawa organik dengan cepat karena punya sifat proteolitik.
(Effendi, 2003)

Konsorsium bakteri ini dimasukkan dalam tambak dua minggu sebelum bibit ditebar, selanjutnya setiap 10 hari sampai masa panen. Tiap satu hektar tambak memerlukan 120 liter tiap 10 hari selama dua bulan pertama. Selanjutnya sampai bulan keempat, dinaikkan dua kali lipat dengan konsentrasi yang sama. Hasil akhir menunjukkan tingkat kelangsungan hidup udang sekitar 70 persen dengan padat penebaran 30 ekor per m2 dan ukuran panen 35-45 ekor per kg (Badjoeri & Widiyanto, 2008).
Berdasarkan hasil analisa kualitas air tambak menunjukan bakteri bioremediasi mampu beradaptasi dan dapat bekerja dengan baik menjaga kondisi kualitas air tambak agar berada dibawah batas ambang dan mampu menguraikan senyawa toksik (Moore, 2003).

3. Pengaruh Bioremediasi pada Budidaya Udang
3.1 Pengaruh terhadap Udang
3.1.1 Pertumbuhan
Bioremediasi telah diketahui memiliki pengaruh yang baik terhadap survival rate (SR) udang pada tambak. Studi yang dilakukan oleh (Devaraja et al., 2013) menunjukkan bahwa udang vannamei yang dipelihara dengan menggunakan bakteri Bacillus pumilus sebagai bioremediator mengalami peningkatan tidak hanya pada SR, tetapi juga pada pertumbuhan spesifik udang. Terjadi perbedaan pertumbuhan yang signifikan antara udang yang dipelihara pada tambak/kolam yang menggunakan bakteri bioremediasi dengan tambak/kolam yang tidak. Bioremediasi mampu meningkatkan kualitas air dengan mengurangi limbah-limbah tambak (Haseeb, 2012) dan beberapa bakteri bioremediator juga mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen (Moriarty, 1999), sehingga udang menjadi lebih sehat dan memiliki nafsu makan yang tinggi untuk pertumbuhan yang lebih baik.

3.1.2 Sistem Imun
Bioremediasi juga dapat meningkatkan sistem imun udang. Pada suatu penelitian, dua jenis strain vegetatif dari bakteri Bacillus subtilis mampu meningkatkan ekspresi sebagian besar gen sistem imun pada udang. Hasil ini menunjukkan bahwa bakteri Bacillus Subtilis yang berada pada tambak pembesaran udang memberikan keuntungan dalam peningkatan sistem pertahanan tubuh udang terhadap penyakit. Udang tidak memiliki sistem imun adaptif yang memiliki sel memori sehingga tidak bisa di vaksin, namun peningkatan kualitas lingkungan pada perairan dapat menghindarkan udang dari stres akibat kualitas perairan yang buruk (Zokaeifar et al., 2014).

3.2 Pengaruh terhadap Kualitas Air
Bioremediasi pata tambak udang memiliki pengaruh terhadap beberapa parameter kualitas air. Beberapa studi mengenai aplikasi bioremediasi pada tambak udang telah dilakukan. Hasilnya, bioremediasi telah memberikan dampak positif  terhadap berbagai parameter kualitas air. Studi yang dilakukan oleh (Martinez-Cordova et al., 2011) menunjukkan bioremediasi memiliki pengaruh terhadap beberapa parameter kualitas air seperti pengurangan total nitrogen, total amonia nitrogen, NO2, NO3, dan NO4. Pada studi yang dilakukan (Devaraja et al., 2013) bioremediasi tidak memberikan perubahan signifikan pada pH, salinitas, oksigen terlarut, dan temperatur. Namun, terdapat beberapa poin yang belum sepenuhnya dijelaskan. Parameter penting seperti Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) tidak diukur dalam penelitian yang dilakukan (Foon, 2004) (Devaraja et al., 2013) (Martínez-Córdova et al., 2011).
Bahan organik terlarut dan tersuspensi mengandung rantai karbon dan keberadaannya sangat penting bagi mikroba dan alga. Bioremediator yang baik harus memiliki mikroba yang berkemampuan untuk membersihkan limbah karbon dari air. Mikroorganisme yang memiliki kemampuan seperti itu juga harus disertai dengan kemampuan menggandakan diri yang cepat dan kapabilitas enzim yang baik. Anggota bakteri dari genus Bacillus, seperti Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis, Bacillus cereus, Bacillus coagulans, serta genus Phenibacillus, like Phenibacillus polymyxa, adalah contoh bakteri yang baik dan cocok untuk bioremediasi detritus organik (Foon, 2004). Sebagai bagian dari bioaugmentasi, Bacillus dapat diproduksi dan dicampur dengan pasir atau lilin sehingga dapat menjangkau dasar tambak. Bakteri genus Lactobacillus juga dapat digunakan bersama dengan Bacillus untuk mengurangi bahan organik terlarut. Bakteri ini memproduksi enzim yang bervariasi yang dapat merusak protein dan pati menjadi molekul-molekul kecil, yang kemudian di ambil untuk dijadikan sumber energi (Komarawidjaja, 2003).
Nitrifikasi oleh bakteri adalah metode paling praktis untuk mengurangi amonia sistem akuakultur tertutup. Bakteri pengoksidasi amonia ditempatkan dalam lima genera, yaitu Nitrosomonas, Nitrosovibrio, Nitrosococcus, Nitrolobus dan Nitrospira, serta pengoksidasi nitrit ditempatkan dalam tiga genera, Nitrobacter, Nitrococcus dan Nitrospira. Terdapat beberapa bakteri lain yang memiliki kemampuan oksidasi, namun bakteri tersebut lebih banyak menggunakan nitrogen dibandingkan amonia atau nitrit. Bakteri nitrifikasi dalam tambak yang terkontaminasi bahan organik menunjukkan aktivitas nitrifikasi yang lebih efisien. Nitrifikasi tidak hanya memproduksi nitrat, tetapi juga mengupah pH menjadi sedikit asam sehingga memfasilitasi untuk penyediaan materi terlarut. Tambak/kolam memproduksi banyak nitrat apabila tidak terdapat bakteri denitrifikasi. Adanya filter denitrifikasi membantu mengubah nitrat menjadi nitrogen. Proses ini membuat terjadinya wilayah anaerobik dimana bakteri anaerob dapat tumbuh dan mengonversi nitrat menjadi gas nitrogen (Badjoeri & Widiyanto, 2008). Berbeda dengan spesies-spesies bakteri nitrifikasi yang terbatas tersebut, setidaknya terdapat 14 genera bakteri yang mampu menurunkan nitrat. Bakteri seperti Pseudomonas, Bacillus and Alkaligenes adalah bakteri yang cukup baik dalam hal tersebut (Anthony & Philip, 2006).
Sulfur adalah zat yang cukup menarik dalam akuakultur karena kepentingannya dalam sedimen anoksik. Dalam kondisi aerob, sulfur organik berdekomposisi menjadi sulfida, dimana selanjutnya teroksidasi menjadi sulfat. Sulfat sangat terlarut dalam air dan secara gradual berdispersi dari sedimen. Oksidasi sulfida dimediasi oleh mikroorganisme dalam sedimen, ini dapat terjadi karena proses kimia yang alamiah. Dalam kondisi anaerob, sulfat mungkin saja digunakan di dalam metabolisme oksigen dari mikroba. Muatan organik dapat menstimulasi produksi H2S dan penurunan keragaman fauna bentik. H2S adalah gas yang mudah terlarut dalam air dan telah diketahui sebagai penyebab terjadinya kerusakan insang dan organ tubuh lainnya pada ikan dan udang. Gas H2S yang tidak terionisasi adalah sangat beracun terhadap ikan dan udang dalam konsentrasi tertentu pada tambak/kolam. Bakteri bentik fotosintesis yang mampu memecah H2S pada dasar kolam telah digunakan dalam akuakultur untuk mendapatkan sistem yang lebih ramah lingkungan. Bakteri ini mengandung bacterio-chlorophyl yang mampu menyerap cahaya (spektrum biru ke infra merah, tergantung pada tipe bacterio-chlorophyl) dan dapat melakukan fotosintesis di bawah kondisi anaerob. Terdapat bakteri sulfur hijau dan ungu yang mampu tumbuh dalam kondisi anaerob pada sedimen dasar air. Prosen fotosintesis bakteri ungu non-sulfur dapat mendekomposisi bahan organik, H2S, NO2 dan limbah berbahaya lainnya dalam kolam. Bakteri sulfur hijau dan ungu memecah H2S untuk memanfaatkan gelombang cahaya yang tidak terserap oleh fitoplankton. Bakteri sulfur hijau dan ungu menurunkan elektron dari H2S dengan pengeluaran energi yang lebih rendah sehingga membutuhkan intensifitas cahaya lebih rendahs untuk melakukan fotosintesis (Anthony & Philip, 2006).

3.3 Pengaruh terhadap Penyebaran Penyakit
Bioremediasi telah digunakan sebagai biokontrol mikroba patogen dalam akuakultur menggunakan mikroorganisme antagonis. Studi mengenai peran bakteri antagonis terutama bakteri co-existing, sebagai agen biokontrol penting dalam mengurangi efek negatif dari antibiotik. Bakteri bioremediasi berguna sebagai biological control agent dalam akuakultur seperti Bakteri asam laktat (Lactobacillus, Carnobacterium dll.), Vibrio (Vibrio alginolyticus), Bacillus, and Pseudomonas (Singh et al., 2001). Studi in-vitro mengenai aktivitas antagonisme bakteri yang berasosiasi dengan larva udang penaeid yaitu Alteromonas, terhadap beberapa patogen oportunistik yang menyerang krustasea. Studi menemukan bahwa spesies Alteromonas mampu menekan aktivitas dari bakteri patogen Vibrio harveyi serta menaikkan tingkat keberlangsungan hidup dari larva udang Penaeus indicus secara in-vivo. Mikroba yang menguntungkan seperti isolat bakteri non patogen Vibrio alginolyticus, dapat diinokulasikan ke dalam tambak udang untuk menekan pertumbuhan spesies vibrio yang patogen seperti Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio splendens. Selain itu, penggunaan Vibrio alginolyticus mampu menurunkan peluang terjadinya infeksi oportunistik dari bakteri patogen (Moriarty, 1999).

3.4 Resiko Bioremediasi pada Tambak Udang
Bioremediasi memberikan banyak keuntungan dalam budidaya udang. Namun, bukan berarti bioremediasi tidak memiliki resiko negatif. Sebagai contoh, penggunaan bakteri Bacillus masih diragukan secara ekologis, hal ini karena bakteri tersebut normalnya tidak banyak pada lingkungan perairan tambak, melainkan berada di sedimen perairan. Saat strain tertentu dari Bacillus ditambahkan ke air dengan kuantitas yang besar, mereka dapat memberikan akibatnya. Mereka akan berkompetisi dengan bakteri lokal yang secara natural memang ada di endapan bahan organik seperti feses dan sisa pakan (Kordi, 2007).
Penggunaan teknologi bioremediasi harus dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu ekologi, ekonomi, keamanan, dan efisiensi serta efektivitas. Pengaplikasian teknologi bioremediasi harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan tambak serta mengetahui daya dukung dan daya lenting lingkungan. Kegiatan pengontrolan terhadap proses bioremediasi harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sekitar, sehingga efek negatif dari bioremediasi dapat diturunkan. Meskipun begitu, aktivitas bioremediasi merupakan aktivitas yang resikonya tidak begitu besar (Ranjan et al., 2014).

4. Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari ulasan ini adalah sebagai berikut:
1.    Bioremediasi memiliki pengaruh terhadap tingkat keberlangsungan hidup, pertumbuhan, dan sistem imun udang, serta mampu mengurangi akumulasi limbah organik dan gas H2S.
2.    Penelitian mengenai bioremediasi di tambak udang masih belum banyak dilakukan sehingga masih perlu dikaji lebih mendalam lagi
3.    Bioremediasi dapat dilakukan oleh bakteri, mikro alga, rumput laut, kerang-kerangan, dan beberapa zat kimia.
4.    Bioremediasi adalah aktivitas yang minim resiko karena tidak banyak menimbulkan masalah pada lingkungan.
5.    Penggunaan teknologi bioremediasi harus dilihat dari sudut pandang ekologi, ekonomi, keamanan, dan efisiensi serta efektivitas. Pengaplikasian teknologi bioremediasi harus disesuaikan dengan daya dukung dan daya lenting lingkungan tambak.

4.2 Saran
Tambak udang merupakan salah satu penyumbang limbah organik terbesar dalam akuakultur. Akumulasi berbagai macam limbah bisa sangat tinggi, sehingga diperlukan aktivitas bioremediasi untuk mengembalikan lingkungan seperti semula. Bioremediasi bukan hanya menguntungkan bagi lingkungan, namun juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan sistem pertahanan tubuh udang sehingga menguntungkan dari segi ekonomi. Aplikasi bioremediasi pada tambak udang sangat disarankan untuk mendapatkan hasil budidaya udang yang lebih baik lagi.

Daftar Pustaka

Anthony, S. P., & R. Philip. (2006). Bioremediation in Shrimp Culture Systems. NAGA, WorldFish Center Quarterly, 29(3), 62–66.
Badjoeri, M., & Widiyanto, T. (2008). Penggunaan Bakteri Nitrifikasi untuk bioremediasi dan pengaruhnya terhadap konsentrasi amonia dan nitrit di tambak udang. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 34(2), 261–278.
Cung, I. K., Kang, Y. H., Yarish, C., P. Kraemer, G., & Ae Lee, J. (2002). Application of Seaweed Cultivation to the Bioremediation of Nutrient-Rich Effluent. Algae, 17(3), 187–194.
Devaraja, T., Banerjee, S., Shariff, M., & Khatoon, H. (2013). A holistic approach for selection of Bacillus spp. as a bioremediator for shrimp postlarvae culture. Turkish Journal of Biology, 37, 92–100.
Effendi. (2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius.
Foon, N. J. (2004). Effectivenes of Bacillus spp. on Ammonia Reduction and Improvement of Water Quality in Shrimp Culture. Universiti Putra Malaysia, Kuala Lumpur.
Hafiluddin. (2011). Bioremediasi Tanah Tercemar Minyak dengan Teknik Bioaugmentasi dan Biostimulasi. Embryo, 8(1), 47–52.
Hanh, D. N., Rajchandari, B. K., & Annachhatre, A. P. (2008). Bioremediation of sediments from intensive aquaculture shrimp farms by using calcium peroxide as slow oxygen release agent. Environmental Technology, 26, 581–589.
Haseeb. (2012). Development of Zero Water Exchange Shrimp Culture System Integrated with Bioremediation of Detritus and Ammonia- Nitrogen. Cochin University of Science and Technology, Kerala, India.
Izzati, M. (2009). Efektifitas Sargassum plagyophullum dan Gracilaria verrucosa dalam Menurunkan Kandungan Amonia, Nitrit dan Nitrat dalam Air Tambak. Jurnal Biologi UNDIP, 1–8.
Komarawidjaja, W. (2003). Pengaruh aplikasi konsorsium mikroba penitrifikasi terhadap konsentrasi amonia (NH3) pada air tambak. Jurnal Teknologi Lingkungan, 4(2), 62–67.
Kordi. (2007). Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta.
Marinho-Soriano, E., Panucci, R. A., Carneiro, M. A. A., & Pereira, D. C. (2008). Evaluation of Gracilaria caudata J. Agardh for bioremediation of nutrients from shrimp farming wastewater. Bioresource Technology, 100, 6192–6198.
Martinez-Cordova, L. R., Lopez-Elias, J. A., Leyva-Miranda, G., Armenta-Ayon, L., & Martinez-Porchas, M. (2011). Bioremediation and reuse of shrimp aquaculture effluents to farm whiteleg shrimp, Litopenaeus vannamei : a first approach. Aquaculture Research, 42, 1415–1423.
Martínez-Córdova, L. R., López-Elías, J. A., Martínez-Porchas, M., Bernal-Jaspeado, T., & Miranda-Baeza, A. (2010). Studies on the bioremediation capacity of the adult black clam, Chione fluctifraga, of shrimp culture effluents. Revista de Biología Marina y Oceanografía, 46(1), 105–113.
Moore, M.-L. (2003). Effectiveness of a commercial probiotic for water and sludge management on an inland shrimp aquaculture farm in Thailand. University of Victoria, Victoria.
Moriarty, D. J. (1999). Disease Control in Shrimp Aquaculture with Probiotic Bacteria. In Microbial Biosystems: New Frontiers (pp. 1–7). Presented at the Proceedings of the 8th International Symposium on Microbial Ecology, Halifax, Canada.
Paniagua-Michel, J., & Garcia, O. (2003). Ex-situ bioremediation of shrimp culture effluent using constructed microbial mats. Aquaculture Engineering, 28, 131–139.
Ranjan, R., Siddhnath, & M., B. (2014). Bioremediation - A potential tool for management of aquatic pollution. International Journal of Multidisciplinary Research and Development, 1(7), 353–340.
Seema, C., & Jayasankar, R. (2005). Removal of nitrogen load in the experimental culture system of seaweed and shrimp. Journal of Marine Biological Association of India, 47(2), 150–153.
Setyawan, A. (2012). Bioteknologi Terhadap Lingkungan. Presented at the University of Lampung, Bandar Lampung.
Su, Y., Ma, S., & Lei, J. (2011). Assessment of Pollutant Reducing Effect by Poly-Culture and Bioremediation in Sediment of Marine Shrimp Ponds. In Sciverse ScienceDirect (Vol. 10, pp. 1559–1567). Presented at the 2011 3rd International Conference on Environmental Science and Information Application Technology (ESIAT 2011), China.
Westermeyer, W. E., Robert W. Niblock, & Andelin, J. (1991). Bioremediation For Marine Oil Spills. Washington: US Government Printing Office.

Zokaeifar, H., Babael, N., Saad, C. R., Kamarudin, M. S., Sijam, K., & Balcazar, J. L. (2014). Administration of Bacillus subtilis strains in the rearing water enhances the water quality, growth performance, immune response, and resistance against Vibrio harveyi infection in juvenile white shrimp, Litopenaeus vannamei. Fish & Shellfish Immunology, 36(1), 68–74.

2 comments:

  1. Apabila Anda mempunyai kesulitan dalam pemakaian / penggunaan chemical , atau yang berhubungan dengan chemical,oli industri, jangan sungkan untuk menghubungi, kami akan memberikan konsultasi kepada Anda mengenai masalah yang berhubungan dengan chemical.

    Salam,
    (Tommy.k)
    WA:081310849918
    Email: Tommy.transcal@gmail.com
    Management

    OUR SERVICE
    Boiler Chemical Cleaning
    Cooling tower Chemical Cleaning
    Chiller Chemical Cleaning
    AHU, Condensor Chemical Cleaning
    Chemical Maintenance
    Waste Water Treatment Plant Industrial & Domestic (WTP/WWTP/STP)
    Degreaser & Floor Cleaner Plant
    Oli industri
    Rust remover
    Coal & feul oil additive
    Cleaning Chemical
    Lubricant
    Other Chemical
    RO Chemical

    ReplyDelete
  2. BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN BANK
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN OVO
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN GOPAY
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN DANA
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN SAKUKU
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN PULSA
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN LINKAJA

    *Menyediakan Segala Jenis Judi Online Lengkap

    Promo Spesial :
    • Bonus 100% (Khusus Casino Sexy Baccarat & Sabung Ayam)
    • Bonus Deposit Pertama Sebesar 10%
    • Bonus Deposit Harian Sebesar 5%
    • Bonus Rollingan 0.8% Setiap Minggu
    • Bonus Referensi ajak teman 7% + 2% (Seumur Hidup)

    LINK RESMI PENDAFTARAN » http://159.89.197.59/register/
    KONTAK WA RESMI » https://bit.ly/kontak24jam

    1#Livechat Bolavita
    2#Livechat Bolavita

    ReplyDelete