Friday, February 16, 2018

Geographic Information System (GIS) dalam Akuakultur

I. PENDAHULUAN
  
Dalam upaya mencapai pertumbuhan ikan yang optimal dan mampu meraih keuntungan pada proses budidaya, maka langkah awal berupa pemilihan lokasi sebagai tempat budidaya ikan menjadi faktor penting. Investasi yang begitu besar untuk mendirikan tambak, membuat kolam ikan maupun meletakan karamba jaring apung, akan menjadi kurang optimal atau bahkan sia-sia jika lokasi kurang mendukung (Pielou, 1998).
Perikanan laut di seluruh dunia berada dalam keadaan terancam akibat overfishing dan berbagai masalah lingkungan. Akibatnya, pemenuhan produk perikanan sebagian besar didukung dari peningkatan output akuakultur atau budidaya. Perubahan dalam sumber perikanan akan terus menimbulkan efek spasial variabel yang signifikan terhadap kelautan dan lingkungan air lainnya. Solusi terbaik untuk pengelolaan efek tersebut adalah dengan melalui penerapan sistem informasi geografis dan metode penginderaan jarak jauh (remote sensing imagery). Selain itu,  perubahan perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih luas untuk mengatasi berbagai masalah perairan, yaitu melalui perencanaan tata ruang laut dan pendekatan ekosistem untuk perikanan dan akuakultur (Wasilah. 2010).
GIS : Geographic Information System (atau SIG : Sistem Informasi Geografis) adalah sistem Informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Sistem berbasis komputer ini didesain untuk mengumpulkan, mengelola, memanipulasi, dan menampilkan informasi spasial (keruangan). GIS merupakan pengelolaan data geografis yang didasarkan pada kerja komputer (mesin). Keberadaan GIS cukup membantu dalam proses pemilihan dan penentuan lahan dalam akuakultur. Dengan berbagai fitur yang dimiliki GIS, maka akan sangat memudahkan para pengusaha perikanan yang kesulitan mencari lahan terbaik untuk kolam, keramba, maupun tempat budidaya lainnya (Prahasta, 2009).



II. ISI
  
A. Sejarah Singkat GIS
Tahun 1967 adalah tahun awal pengembangan GIS yang bisa diterapkan di Ottawa, Ontario, Kanada oleh Departemen Energi, Pertambangan dan Sumber Daya. Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian GIS - SIG Kanada). CGIS digunakan untuk menyimpan, menganalisis dan mengolah data yang dikumpulkan untuk Inventarisasi Tanah Kanada (CLI - Canadian land Inventory), yaitu sebuah inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah pedesaan Kanada dengan memetakaan berbagai informasi pada tanah, pariwisata, pertanian, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah (Batty & Longley, 2003).
CGIS merupakan sistem pertama di dunia dan hasil dari perbaikan aplikasi pemetaan yang memiliki kemampuan timpang susun (overlay), penghitungan, pemindaian (digitizing/scanning), mendukung sistem koordinat national yang membentang di atas benua Amerika, memasukkan garis sebagai arc yang memiliki topologi dan menyimpan atribut dan informasi lokasional pada berkas terpisah. Hal ini membuat sang geografer Roger Tomlinson disebut sebagai "Bapak Sistem Informasi Geografis" (Fisher & Rahel, 2004).
 
CGIS bertahan sampai tahun 1970-an dan memakan waktu lama untuk lebih disempurnakan setelah pengembangan awal, dan tidak bisa bersaing dengan aplikasi pemetaan komersil yang dikeluarkan beberapa vendor seperti Intergraph. Perkembangan perangkat keras mikro komputer memacu vendor lain seperti ESRI, CARIS, dan MapInfo. Mereka berhasil membuat banyak fitur GIS, menggabung pendekatan generasi pertama pada pemisahan informasi spasial dan atributnya, dengan pendekatan generasi kedua pada organisasi data atribut menjadi struktur database. Perkembangan industri pada tahun 1980-an hingga 1990-an memacu lagi pertumbuhan GIS pada workstation UNIX dan komputer pribadi. Pada akhir abad ke-20, pertumbuhan yang cepat di berbagai sistem dikonsolidasikan dan distandarisasikan menjadi platform lebih sedikit, dan para pengguna mulai mengekspor menampilkan data GIS lewat internet, yang membutuhkan standar pada format data dan transfer (Harvey, 2008).

B. Tantangan Spasial yang Dihadapi Perikanan dan Akuakultur
Selama beberapa dekade terakhir, telah diakui bahwa dunia perikanan saat ini telah terancam oleh eksploitasi yang berlebihan dan berbagai masalah lainnya yang disebabkan oleh manusia. Semakin banyak stok ikan yang tercatat telah terancam punah bahkan habis. Dalam laporan terbaru mengenai keadaan dunia perikanan dan akuakultur oleh Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), dilaporkan bahwa dari 87 % stok ikan dunia yang tersedia, 57 % tereksploitasi penuh (fully exploited), 30 % tereksploitasi secara berlebihan (overexploited) , dan 13 % tidak tereksploitasi sepenuhnya (Unfully Exploited) (FAO. 2012).

Dalam banyak kasus, memaksimalkan keuntungan jangka pendek lebih penting daripada mempertahankan eksploitasi jangka panjang. Menariknya, bagaimanapun perikanan merupakan sektor perekonomian yang sangat menguntungkan, tetapi "pendapatan sektor perikanan yang dihasilkan malah tidak dialokasikan kepada lembaga-lembaga yang diperlukan untuk mempromosikan keberlanjutan dunia perikanan itu sendiri (contoh: penelitian perikanan, manajemen akuakultur, serta pengawasan dan pengendalian perikanan)”. Hal ini memberikan indikasi umum pada skala dunia, efektivitas pengelolaan perikanan untuk setiap zona ekonomi eksklusif (ZEE) dapat dilihat bahwa tidak ada di dunia perikanan yang dikelola lebih dari tingkat efektivitas 80 persen, mayoritas hanya sekitar 50 persen (Foote, 2009). Ada juga hubungan yang jelas antara tingkat pendapatan dan efektivitas manajemen. Manajemen lebih baik pada daerah yang relatif makmur seperti Oceania, Amerika Utara, Eropa Utara. Sedangkan manajemen kurang efisien ada pada Amerika Tengah, sebagian besar Afrika khatulistiwa dan Asia Tenggara termasuk Indonesia (Foresman, 1998).
Dari semua ikan yang ditangkap, hampir 90 % berasal dari perikanan laut, sedangkan 10 % lainnya berasal dari perikanan darat (FAO, 2009). Setidaknya 95 % dari produksi perikanan darat berasal dari negara-negara berkembang. Dalam skala dunia, situasi stok ikan untuk perikanan darat cukup kompleks, sebagian disebabkan karena kegiatan perikanan telah terfragmentasi atau berubah (Welcomme, 2011).

C. Perkembangan Terbaru Penggunaan GIS Untuk Perikanan dan Akuakultur
Penggunaan GIS untuk tujuan perikanan cukup lambat terwujud, Hal ini sebagian besar dikarenakan kurangnya data kelautan serta data lingkungan kompleks lain yang berkaitan tentang perairan. Lingkungan yang kompleks ini dapat dipahami sebagai "task component" yang perlu dipertimbangkan ketika melakukan pekerjaan terkait penggunaan GIS dunia perikanan (Abdul & Pilouk, 2010).
Dengan demikian, terutama pada GIS terestrial lebih berkaitan dengan point 1, 2 dan 4, sedangkan sebagian besar GIS perikanan harus berkonsentrasi pada point 3, 5, 6 dan 7. Hal ini karena perikanan berlangsung di sebuah lingkungan spasial 3D atau 2,5D, lingkungan yang terdiri dari badan-badan air berskala besar (large-scale of water) menunjukkan gerakan 4D yang berbeda, di mana sebagian besar objek bergerak secara independen. Gerakan variabel ini mempengaruhi distribusi spasial, yang berarti bahwa periodisitas dan resolusi pemetaan menjadi masalah yang sulit namun sangat penting untuk dipecahkan. Oleh karena itu, lingkungan laut memberikan masalah mendasar untuk setiap pekerjaan yang berbasis GIS (Gunderson, 1993).
Pada awal 1990-an, berbagai aplikasi perikanan menggunakan GIS berkembang. GIS perikanan sekarang bergerak, termasuk ilustrasi studi mengenai GIS. Pekerjaan utama GIS perikanan  dicapai sebelum awal milenium kedua. Dari 216 publikasi GIS perikanan yang dibuat antara tahun 1985 dan 1999, menunjukkan bahwa 49 % diarahkan ke perikanan laut, 20 % untuk perikanan darat, 16 % untuk budidaya dan 15 % untuk perikanan pesisir. Pada akhir milenium, kerja GIS terkait perikanan di beberapa daerah sudah lebih baik. Berdasarkan dari investigasi Meaden (1999) ke situs budidaya udang di tengah barat Sri Lanka, didapatkan output tipikal dari periode ini. Pembangunan peta ini membutuhkan masukan data dari 14 variabel produksi, yang masing-masing memberikannya untuk kepentingan relatif  budidaya udang. Beberapa data tersedia dari lembaga pemetaan nasional, data lainnya berasal dari penggunaan data proxy dan pengindraan jarak jauh (Kanevski & Maignan, 2004).


D. Penggunaan GIS Dalam Akuakultur
Akuakultur adalah suatu usaha yang sangat luas bila dianggap dari segi lingkungan, teknik, administrasi dan ekonomi. Banyak yang dipengaruhi oleh akuakultur ini, contohnya seperti (Kropla, 2005):
·      Lingkungan (laut, air payau, air tawar).
·      Organisme budidaya seeperti ikan, kerang-kerangan, reptil, amfibi dan tanaman air.
·      Bahkan berpengaruh pada geografis suatu bangsa dan benua.

Selain itu, akuakultur tidak bisa dianggap sebagai kegiatan individual. Misalnya, akuakultur sering dikaitkan dengan perikanan tidak hanya dalam hal spesies, tapi lebih dekat dalam hal perikanan karena kebergantungan akuakultur terhadapnya, contohnya seperti historis berbagai ikan salmon dan ikan trout (Nishida, & Caton, 2010).
Pesatnya pertumbuhan budidaya perikanan juga membawa berbagai macam isu-isu lingkungan, sosial dan ekonomi. Penting untuk dicatat bahwa isu-isu dalam akuakultur memiliki dua sumber utama: yaitu orang-orang yang berasal dari kegiatan akuakultur itu sendiri dan orang-orang yang mempengaruhi akuakultur akibat suatu kegiatan eksternal. Tidak penting darimana pengaruh asalnya, karena masing-masing masalah ini memiliki sejumlah komponen yang bervariasi tergantung pada lokasinya, hal ini dapat diatasi dengan adanya analisis spasial. Dalam hal ini, GIS dan penginderaan jarak jauh (remote sensing) telah digunakan untuk mengatasi "apa, di mana dan bagaimana?" Kegiatan produksi perikanan akuakultur sejak awal 1980-an, tapi sekarang ada dorongan yang cukup untuk menggunakan analisis spasial untuk memperluas cakupan isu-isu tersebut menjadi "untuk siapa, dan apa konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonominya?" sebagai suatu pertanyaan tambahan untuk diselidiki dalam hubungannya dengan pengembangan dan pengelolaan akuakultur (Longley, Goodchild, Maguire & Rhind, 2011).
Isu-isu spasial dalam akuakultur yang GIS telah terapkan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.    Pengembangan akuakultur
2.    Praktek dan manajemen akuakultur
3.    Pelatihan dan promosi GIS, dan
4.    Pembangunan multisektoral dan manajemen yang melingkupi akuakultur.
Masing-masing kategori di atas memiliki subkategori isu yang terkait. GISFish database memberikan hasil terbaru pada 391 aplikasi yang berhubungan dengan masing-masing sub-isu (Meaden & José , 2013).
Isu
Jumlah
Pengembangan akuakultur
209
Kesesuaian Lokasi dan Zonasi
111
Perencanaan strategis untuk pengembangan
79
Antisipasi konsekuensi akuakultur
15
Ekonomi
4
Praktek dan manajemen akuakultur
124
Inventarisasi serta pemantauan akuakultur dan lingkungan
83
Dampak lingkungan akuakultur
27
Pemulihan habitat budidaya
8
Sistem informasi akuakultur berbasis web
6
Pelatihan dan promosi GIS
32
Pelatihan
9
Promosi
23
Pembangunan mutisektoral dan manajemen yang melingkupi akuakultur
26
Pengelolaan akuakultur dan perikanan secara bersama-sama
9
Perencanaan akuakultur dengan penggunaan hal lain selain tanah dan air
17
TOTAL
391

Dampak lingkungan akuakultur memiliki banyak sisi sebagai isu spasial. Salah satunya adalah persepsi masyarakat tentang konsekuensi dari pengembangan akuakultur. Masalah spasial lainnya adalah dampak lingkungan dari beberapa instalasi akuakultur akibat penggunaan lahan atau air di wilayah yang sama. Contohnya adalah pada proyek penilaian dampak lingkungan yang dilakukan di Bolinao Bay, Republik Filipina, untuk meningkatkan organisasi dan representasi dari petani ikan sehingga dapat dipantau dan dikelola secara efektif (Rigaux, Scholl & Voisard, 2002).
Gambar 2.5. proyek penilaian dampak lingkungan yang dilakukan di Bolinao Bay
Akuakultur berkelanjutan memerlukan sistem alokasi sumber daya perikanan budidaya yang sesuai. GIS adalah alat yang tepat untuk menerapkan pendekatan perencanaan yang fleksibel untuk memfasilitasi alokasi sumberdaya. Hal ini karena GIS menggabungkan parameter fisik, biologi dan ekonomi sebagai analisis khusus. GIS adalah alat yang berguna untuk Akuakultur dan Perikanan karena sifat spasial dari faktor yang terlibat dengan operasi perikanan dan pengembangan akuakultur. GIS menyediakan bantuan dukungan kepada para manajer akuakultur dibangun dengan output dari GIS, dan mungkin materi terkait lainnya. Hal ini juga memungkinkan manajer akuakultur untuk memiliki sekilas peluang untuk mengekspansi atau memperluas potensi situs-situs tebaik untuk budidaya dan meningkatan operasional yang ada (Yeung & Brent 2007).

Remote Sensing dikombinasikan dengan GIS mampu memberikan penilaian visual kondisi suatu lokasi. Kesesuaian situs dan analisis kedekatan dapat dengan mudah dilakukan menggunakan GIS sebagai alatnya. Manajer akuakultur dapat menjangkau klien dengan efektif. Manajr juga dapat melakukan perencanaan proyek rinci berkelanjutan untuk proyek akuakultur dengan menggabungkan akuakultur dengan GIS dan Remote Sensing (Heywood, Cornelius & Carver, 2006).

E. Distribusi Geografis dari GIS Untuk Akuakultur
Seiring dengan beberapa masalah spasial dalam akuakultur yang dapat ditangani oleh GIS, distribusi geografis dari aplikasi ini juga sangat menarik. Sebagai contoh, adalah hal penting untuk mengetahui tingkat pengalaman penggunaan GIS dalam suatu negara, sehingga bantuan teknis dan pelatihan dapat dialokasikan dengan cara yang mungkin cocok dengan kebutuhan dan kapasitas negara (Tan, D. 2011). Salah satu indikator tersebut adalah jumlah aplikasi untuk akuakultur oleh negara berdasarkan GISFish Aquaculture Database pada bulan Desember 2009, dan ini digambarkan sebagai peta tematik. Hasilnya cukup miring, lebih dari setengah negara-negara yang memiliki aplikasi GIS hanya satu sampai tiga aplikasi GIS yang tercatat, ternyata sangat sedikit negara yang memiliki banyak aplikasi GIS. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman penggunaan GIS masih belum merata. Selain itu, meskipun 51 negara memiliki sekitar 298 aplikasi GIS, pada waktu yang sama ada 163 negara memiliki beberapa catatan produksi akuakultur. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada banyak negara yang terlatih dalam akuakultur yang tidak menggunakan GIS untuk mengatasi masalah dalam budidaya perikanan, atau mungkin ada dari beberapa negara tersebut yang tidak mempublikasikan aplikasi GIS mereka. Bahkan negara-negara dengan produksi akuakultur yang terkenal tinggi, seperti Jepang,  Norwegia, dan Filipina, sangat sedikit mempublikasikan studi yang berkaitan dengan GIS dalam akuakultur (Meaden & José , 2013).
Gambar 2.7. Peta Distribusi penggunaan GIS

wilayah
Negara pengguna aplikasi
Jumlah aplikasi
Amerika Utara
United States of America
107
Kanada
12
Amerika latin dan Karibia
Meksiko
3
Brazil
3
Peru
2
Chili
2
Laut Karibia dan Teluk Meksiko

17
Asia Pasifik
China
24
India
17
Srilanka
9
Vietnam
8
Bangladesh
7
Indonesia
6
Australia
6
Thailand
6
Selandia Baru
4
Jepang
4
Filipina
2
Samudra Hindia

1
Afrika

9
Afrika Selatan
2
Eropa
Prancis
8
Spanyol
4
Laut Baltik

3

Norwegia
3
Italia
2
Portugal
1
Denmark
1
Finlandia
1
Atlantik Utara

1
Laut Utara

1
Area non spesifik

74
TOTAL
350
(Meaden & José , 2013)



III. KESIMPULAN
 A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.    GIS merupakan sistem berbasis komputer yang sangat bermanfaat dalam pemilihan dan penyesuaian lahan dalam akuakultur.
2.    Penggunaan GIS dapat bermanfaat dalam mengatasi isu-isu spasial dalam kegiatan akuakultur.
3.    Penggunaan GIS sebagai alat bantu dalam dunia perikanan ternyata belum banyak digunakan bahkan oleh negara maju sekalipun, dikarenakan kurangnya promosi dan publikasi GIS dan kurangnya pengetahuan mengenai penggunaan aplikasi berbasis komputer.

B. Saran

Dalam publikasi Perikanan FAO “State of the World Fisheries and Aquaculture” yang membahas berbagai faktor kontribusi yang menimbulkan situasi global saat ini dalam perikanan dan akuakultur. Pada bagian kata pengantarnya, publikasi menyoroti dorongan para aktor di semua tingkatan dalam sektor perikanan dan akuakultur untuk membuat lebih baiknya penggunaan Internet, GIS, remote sensing dan kemajuan teknologi lainnya untuk menjaga keanekaragaman hayati perairan dan menjamin masa depan yang berkelanjutan untuk sektor ini (FAO, 2010). Oleh karena itu, kemampuan teknologi terutama bagi para aktor dunia perikanan harus dilatih mulai saat ini, agar para pelaku budidaya perikanan dapat mengaplikasikannya di dunia nyata dimana keanekaragaman hayati dan lingkungannya kian lama kian memburuk.

Ankiq, T S, Skalalis Diana, dan Ujang Subhan. 2013. Jurnal: Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Penetapan Potensi Lahan Budidaya Perikanan di Kabupaten Sumedang. Sumedang: Universitas Padjadjaran.

Longdill , Peter C., Terry R. Healy, dan Kerry P. Black, 2008. Journal: An integrated GIS approach for sustainable aquaculture management area site selection. New Zealand: Ocean & Coastal Management.

Wasilah. 2010. Sistem Informasi Geografis (SIG) tambak ikan di kabupaten lamongan sebagai pendukung keputusan untuk menentukan letak strategis dan jenis tambak dalam mengembangkan usaha budidaya ikan. Malang: Universitas Islam Negeri Malang.

Meaden, Geoffery J. & José Aguilar-Manjarrez. 2013. Advances in geographic information systems and remote sensing for fisheries and aquaculture. Rome: Food And Agriculture  Organization Of The United Nations.

Malczewski , Jacek. 2004. GIS-based land-use suitability analysis: a critical overview. London: Department of Geography, University of Western Ontario.

Doktafia. 2014. Sistem Informasi Geografis.

Kam, S.P., M.L.Bose & S.J. Teoh. 2007. GIS Mapping of Pond Aquaculture Potential in Bangladesh. Bangladesh: WorldFish Center (www.worldfishcenter.org)

Aguilar-Manjarrez, Jose, dan Lindsay G. Ross. 1993. Aquaculture Development and GIS. Mexico: Mapping awareness & GIS in Europe.

Sivakumar, R., A.M. Kiruthika, S., dan Suresh Babu. 2012. Remote Sensing And GIS Application In Brackish Aquaculture In Northern Part Of Andhira Pradesh from Srikakulam To West Godavari. India: International Journal of P2P Network Trends and Technology.

Gifford, John A., Daniel D. Benetti, dan José A. Rivera. 2003. Using GIS for Offshore Aquaculture Siting in the U.S. Caribbean and Florida. Miami: University of Miami.

No comments:

Post a Comment