1.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Akuakultur
adalah sektor pangan yang sangat cepat pertumbuhannya di dunia. Sebelumnya,
akuakultur dianggap sebagai aktivitas yang lebih ramah lingkungan karena sistem
polikulturnya dan sistem budidaya terintegrasi yang berbasis pada penggunaan
sumberdaya yang optimum. Peningkatan produksi dalam akuakultur yang terus
berkembang menyebabkan terjadinya ekspansi lahan tanah dan air yang semakin
luas. Penggunaan teknologi dan intensifitas tinggi pada budidaya ikan dan udang
menyebabkan peningkatan input air, pakan, pupuk, dan bahan-bahan kimia lainnya.
Akibatnya, akuakultur kini dianggap berpotensi besar menjadi polutan bagi
lingkungan perairan serta menyebabkan degradasi pada lahan basah (Anthony & Philip, 2006).
Kondisi
fisika, kimia, dan biologi pada lingkungan budidaya memberikan dampak bagi
kesehatan dan produktivitas udang. Pemaparan bahan toksik seperti hidrogen
sulfida, amonia, dan karbon dioksida dapat menyebabkan stres yang diikuti
dengan munculnya penyakit (Moriarty, 1999).
Pada dasarnya, tipe limbah yang diproduksi oleh berbagai macam aktivitas
akuakultur kurang lebih sama. Namun, terdapat perbedaan dari kualitas dan
kuantitas dari komponen limbah tergantung pada organisme apa yang dibudidayakan
dan sistem budidaya yang digunakan. Limbah yang berasal dari hatchery dan budidaya udang dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. Sisa
pakan dan feses
2. By-product
metabolisme
3. Residu
biosida
4. Limbah
pupuk
5. Limbah
dari proses moulting
6. Blooming
alga yang mati dan mengendap di dasar (Collapsing
algal blooms)
(Anthony & Philip, 2006)
Pendekatan
terkini untuk meningkatkan kualitas air pada tambak udang adalah
mengaplikasikan mikroorganisme atau enzim ke dalam tambak yang disebut
bioremediasi. Gabungan antara makro dan mikroorganisme atau produk mereka akan
meningkatkan kualitas air. Penggunaan bioremediasi menurunkan akumulasi lumpur
dan bahan organik pada dasar tambak, meningkatkan penetrasi oksigen, dan
memberikan lingkungan yang lebih baik bagi udang (Ranjan et.al., 2014).
1.2
Tujuan Ulasan
Adapun tujuan dari
ulasan ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui pengaruh
bioremediasi pada tambak udang
2.
Mengetahui hasil
berbagai penelitian mengenai bioremediasi pada tambak udang
3.
Mengetahui
produk-produk bioremediasi
4.
Mengetahui efek
bioremediasi pada budidaya udang
5.
Mengevaluasi penggunaan
bioremediasi pada tambak udang
2.
Aplikasi Bioremediasi pada Tambak Udang
2.1 Definisi
Bioremediasi
Bioremediasi berasal dari kata bio dan remediasi atau “remediate”
yang artinya menyelesaikan masalah. Secara umum bioremediasi dimaksudkan
sebagai pemanfaatan organisme dan/atau produknya untuk menyelesaikan
masalah-masalah lingkungan atau untuk menghilangkan senyawa yang tidak
diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air permukaan sehingga lingkungan
tersebut kembali bersih dan alamiah. Salah satu proses bioremediasi yang
terkenal adalah bioremediasi terhadap tumpahan minyak di laut (Hafiluddin, 2011) (Westermeyer et al., 1991).
Proses bioremediasi ini dapat dilakukan secara bioaugmentasi,
yaitu penambahan atau introduksi satu jenis atau lebih mikroorganisma baik yang
alami maupun yang sudah mengalami perbaikan sifat (improved / genetically
engineered strains). Selain itu dapat dilakukan biostimulasi, yaitu suatu
proses yang dilakukan melalu penambahan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme atau menstimulasi kondisi lingkungan sedemikian rupa (misalnya
pemberian aerasi) agar mikroorganisma tumbuh dan beraktivitas lebih baik (Hafiluddin, 2011).
Bioremediasi merupakan sistem pengembalian kondisi lingkungan
yang sudah tercemar agar dapat dikembalikan pada kondisi awal. Teknik
bioremediasi pada tambak udang secara prinsip adalah dengan menambahkan
mikroorganisme tertentu untuk menormalkan kembali tambak udang yang telah rusak
akibat tingginya senyawa metabolitoksik terutama amoniak dan nitrit (Badjoeri & Widiyanto, 2008) (Seema & Jayasankar, 2005). Metode Bioremediasi juga mampu menghilangkan H2S yang bersifat toksik/beracun pada sedimen tambak
serta menekan jumlah bakteri vibrio yang dapat menimbulkan penyakit pada udang
windu (Moriarty, 1999).
Dalam kasus pertambakan udang, sedimen merupakan “lingkungan”
yang akan diperbaiki. Dalam usaha melakukan remediasi pada lingkungan tambak,
perlu dilakukan analisa menyeluruh akan kandungan berbagai bahan organik dan
anorganik yang terdapat pada lingkungan tambak (Ranjan et al., 2014)
2.2 Produk-produk
Bioremediasi
Bioremediasi
adalah proses yang biasanya dilakukan oleh organisme-organisme yang mampu
memproduksi enzim-enzim tertentu untuk meremediasi (mengembalikan) lingkungan
yang rusak (Setyawan, 2012).
Pengaplikasian bioremediasi tidak lepas dari produk-produk bioremediasi yang ada
secara komersil, sehingga bioremediasi merupakan aktivitas yang mudah di akses
oleh berbagai kalangan pembudidaya ikan dan udang (Moore, 2003).
2.2.1 Agen Bioremediasi
Organisme
bioremediator memiliki kemampuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan perairan
yang rusak. Kebanyakan dari mereka biasanya adalah bakteri, mikro alga, dan
rumput laut (seaweed). Bakteri
merupakan mikroorganisme yang paling sering dipakai sebagai bioremediator
karena praktis dan tidak rumit dalam pengaplikasiannya (Paniagua-Michel & Garcia, 2003).
Tabel 1. Beberapa
spesies bakteri agen bioremediasi
Bioremediator
|
Sumber
|
Digunakan
untuk
|
Metode
aplikasi
|
Gram
Positif
|
|||
Bacillus
sp.
|
Produk
komersial
|
Centropomus
undecimalis, penaeid, channel catfish
|
Disebarkan ke
air
|
Bakteri kultur
campuran, tapi kebanyakan adalah Bacillus
sp.
|
Produk
Komersil
|
Brachionus plicatilis
|
Dicampurkan
dengan air
|
Gram
Negatif
|
|||
Aeromonas CA2
|
Tidak
diketahui
|
Crassostrea
gigas
|
Dicampurkan
dengan air
|
Photorhodobacterium sp.
|
Tidak
diketahui
|
Penaeus
chinensis
|
Dicampurkan
dengan air
|
Pseudomonas
fluorescence
|
Onchorhynchus
myskiss
|
Onchorhynchus
myskiss
|
Dicampurkan ke
air hingga 105 atau 106 sel/ml
|
Pseudomonas sp.
|
Onchorhynchus
myskiss
|
Onchorhynchus
myskiss
|
Dicampurkan
dengan air
|
Roseobacter sp.
B5 107
|
Tidak
diketahui
|
Larva Scallop
|
Dicampurkan
dengan air
|
(Anthony & Philip, 2006)
Bakteri
bioremediator diisolasi dari lingkungannya untuk dikembangbiakkan dan dijadikan
produk komersial. Kebanyakan bakteri merupakan bakteri umum yang ada di alam.
Beberapa bakteri yang telah umum digunakan sudah banyak digunakan sehingga
ditakutkan akan mengganggu keseimbangan ekologis. Oleh karena itu, pengisolasian
dan pengembangan bakteri lokal diperlukan untuk aplikasi bioremediasi terkini (Ranjan et al., 2014).
Rumput
laut (makro alga) juga merupakan agen bioremediasi yang penting untuk
lingkungan, karena memiliki kemampuan fotosintesis serta kandungan metabolit
sekunder yang tinggi (Cung et al., 2002).
Rumput laut juga berperan sebagai filter yang mampu membersihkan kandungan
bahan organik di perairan laut (Izzati, 2009).
Sistem budidaya polikultur di laut sudah dilakukan oleh negara-negara maju
dengan memanfaatkan spesies rumput laut dan disandingkan dengan budidaya kerang
dan abalon (Su et
al., 2011).
Tabel 2. Beberapa
spesies rumput laut agen bioremediasi
Spesies
|
Tipe
|
Porphyra tenera
|
Alga
merah
|
Porphyra seriata
|
Alga
merah
|
Ulva pertusa
|
Alga
hijau
|
Hypnea charoides
|
Alga
merah
|
Gracilaria verrucosas
|
Alga
merah
|
Gracilaria textorii
|
Alga
merah
|
Sargassum plagyophullum
|
Alga
coklat
|
Gracilaria verucosa
|
Alga
merah
|
Gracilaria caudata
|
Alga
merah
|
(Anthony & Philip, 2006)
(Izzati, 2009)
(Marinho-Soriano et al., 2008)
Selain
bakteri dan alga, juga dapat digunakan bahan-bahan yang berfungsi sama untuk
bioremediasi. Sebagai contoh, penggunaan kalsium peroksida (CaO2)
pada tambak udang mampu meremediasi sedimen dasar air dengan mendegradasi bahan
organik seperti karbon, nitrogen, dan posfor (Hanh et al., 2008).
Kelompok kerang-kerangan juga dapat digunakan sebagai biofilter di perairan,
contohnya adalah kerang kima dewasa Chione
fluctifraga dapat digunakan untuk mengontrol bahan-bahan organik terlarut
di tambak udang (Martínez-Córdova
et al., 2010)
2.2.2 Pengaplikasian
Bioremediasi
Sistem
kerja dalam penggunaan bakteri dalam usaha budidaya udang dalam tambak adalah
dengan penggunaan konsorsia bakteri remediasi. Konsorsia ini terdiri dari
berbagai jenis bakteri yang telah ditemukan yaitu bakteri heterotrofik, bakteri
nitrifikasi dan denitrifikasi, serta bakteri fotosintetik anoksigenik (Komarawidjaja, 2003).
·
Bakteri denitrifikasi dan nitrifikasi untuk mengendalikan
nitrogen, amoniak, nitrat, dan nitrit yang ada di tambak.
·
Bakteri fotosintetik anoksigenik untuk mengatur hidrogen
sulfida (H2S) dan sebagai pakan tambahan karena banyak mengandung karotenoid.
·
Bakteri heteroptrofik untuk mengontrol karbon dan senyawa
organik dari sisa pakan.
·
Bakteri fermentasi untuk menghilangkan senyawa organik
dengan cepat karena punya sifat proteolitik.
(Effendi, 2003)
Konsorsium
bakteri ini dimasukkan dalam tambak dua minggu sebelum bibit ditebar,
selanjutnya setiap 10 hari sampai masa panen. Tiap satu hektar tambak
memerlukan 120 liter tiap 10 hari selama dua bulan pertama. Selanjutnya sampai
bulan keempat, dinaikkan dua kali lipat dengan konsentrasi yang sama. Hasil
akhir menunjukkan tingkat kelangsungan hidup udang sekitar 70 persen dengan
padat penebaran 30 ekor per m2 dan ukuran panen 35-45 ekor per kg (Badjoeri & Widiyanto, 2008).
Berdasarkan
hasil analisa kualitas air tambak menunjukan bakteri bioremediasi mampu
beradaptasi dan dapat bekerja dengan baik menjaga kondisi kualitas air tambak
agar berada dibawah batas ambang dan mampu menguraikan senyawa toksik (Moore, 2003).
3.
Pengaruh Bioremediasi pada Budidaya Udang
3.1
Pengaruh terhadap Udang
3.1.1
Pertumbuhan
Bioremediasi
telah diketahui memiliki pengaruh yang baik terhadap survival rate (SR) udang pada tambak. Studi yang dilakukan oleh (Devaraja et al., 2013)
menunjukkan bahwa udang vannamei yang dipelihara dengan menggunakan bakteri Bacillus pumilus sebagai bioremediator
mengalami peningkatan tidak hanya pada SR, tetapi juga pada pertumbuhan
spesifik udang. Terjadi perbedaan pertumbuhan yang signifikan antara udang yang
dipelihara pada tambak/kolam yang menggunakan bakteri bioremediasi dengan tambak/kolam
yang tidak. Bioremediasi mampu meningkatkan kualitas air dengan mengurangi
limbah-limbah tambak (Haseeb, 2012)
dan beberapa bakteri bioremediator juga mampu menekan pertumbuhan bakteri
patogen (Moriarty, 1999),
sehingga udang menjadi lebih sehat dan memiliki nafsu makan yang tinggi untuk
pertumbuhan yang lebih baik.
3.1.2 Sistem
Imun
Bioremediasi juga
dapat meningkatkan sistem imun udang. Pada suatu penelitian, dua jenis strain vegetatif
dari bakteri Bacillus subtilis mampu
meningkatkan ekspresi sebagian besar gen sistem imun pada udang. Hasil ini
menunjukkan bahwa bakteri Bacillus Subtilis yang berada pada tambak pembesaran udang memberikan
keuntungan dalam peningkatan sistem pertahanan tubuh udang terhadap penyakit.
Udang tidak memiliki sistem imun adaptif yang memiliki sel memori sehingga
tidak bisa di vaksin, namun peningkatan kualitas lingkungan pada perairan dapat
menghindarkan udang dari stres akibat kualitas perairan yang buruk (Zokaeifar et al., 2014).
3.2 Pengaruh
terhadap Kualitas Air
Bioremediasi
pata tambak udang memiliki pengaruh terhadap beberapa parameter kualitas air. Beberapa
studi mengenai aplikasi bioremediasi pada tambak udang telah dilakukan.
Hasilnya, bioremediasi telah memberikan dampak positif terhadap berbagai parameter kualitas air. Studi
yang dilakukan oleh (Martinez-Cordova et al., 2011)
menunjukkan bioremediasi memiliki pengaruh terhadap beberapa parameter kualitas
air seperti pengurangan total nitrogen, total amonia nitrogen, NO2,
NO3, dan NO4. Pada studi yang dilakukan (Devaraja et al., 2013)
bioremediasi tidak memberikan perubahan signifikan pada pH, salinitas, oksigen
terlarut, dan temperatur. Namun, terdapat beberapa poin yang belum sepenuhnya
dijelaskan. Parameter penting seperti Biological
Oxygen Demand (BOD) dan Chemical
Oxygen Demand (COD) tidak diukur dalam penelitian yang dilakukan (Foon, 2004) (Devaraja et al., 2013)
(Martínez-Córdova
et al., 2011).
Bahan organik
terlarut dan tersuspensi mengandung rantai karbon dan keberadaannya sangat
penting bagi mikroba dan alga. Bioremediator yang baik harus memiliki mikroba yang
berkemampuan untuk membersihkan limbah karbon dari air. Mikroorganisme yang
memiliki kemampuan seperti itu juga harus disertai dengan kemampuan menggandakan
diri yang cepat dan kapabilitas enzim yang baik. Anggota bakteri dari genus Bacillus,
seperti Bacillus
subtilis, Bacillus licheniformis, Bacillus cereus, Bacillus
coagulans, serta genus Phenibacillus, like Phenibacillus
polymyxa, adalah contoh bakteri
yang baik dan cocok untuk bioremediasi detritus organik (Foon, 2004). Sebagai bagian dari bioaugmentasi, Bacillus dapat diproduksi dan dicampur dengan pasir
atau lilin sehingga dapat menjangkau dasar tambak. Bakteri genus Lactobacillus juga dapat digunakan bersama dengan
Bacillus untuk mengurangi bahan
organik terlarut. Bakteri ini memproduksi enzim yang bervariasi yang
dapat merusak protein dan pati menjadi molekul-molekul kecil, yang kemudian di
ambil untuk dijadikan sumber energi (Komarawidjaja, 2003).
Nitrifikasi oleh
bakteri adalah metode paling praktis untuk mengurangi amonia sistem akuakultur
tertutup. Bakteri pengoksidasi amonia ditempatkan dalam lima genera, yaitu Nitrosomonas,
Nitrosovibrio, Nitrosococcus, Nitrolobus dan Nitrospira, serta pengoksidasi nitrit ditempatkan
dalam tiga genera, Nitrobacter, Nitrococcus dan Nitrospira. Terdapat beberapa bakteri lain yang memiliki
kemampuan oksidasi, namun bakteri tersebut lebih banyak menggunakan nitrogen
dibandingkan amonia atau nitrit. Bakteri nitrifikasi dalam tambak yang terkontaminasi
bahan organik menunjukkan aktivitas nitrifikasi yang lebih efisien. Nitrifikasi
tidak hanya memproduksi nitrat, tetapi juga mengupah pH menjadi sedikit asam
sehingga memfasilitasi untuk penyediaan materi terlarut. Tambak/kolam
memproduksi banyak nitrat apabila tidak terdapat bakteri denitrifikasi. Adanya
filter denitrifikasi membantu mengubah nitrat menjadi nitrogen. Proses ini
membuat terjadinya wilayah anaerobik dimana bakteri anaerob dapat tumbuh dan
mengonversi nitrat menjadi gas nitrogen (Badjoeri & Widiyanto, 2008). Berbeda dengan spesies-spesies bakteri nitrifikasi yang
terbatas tersebut, setidaknya terdapat 14 genera bakteri yang mampu menurunkan
nitrat. Bakteri seperti Pseudomonas, Bacillus and Alkaligenes adalah bakteri yang cukup baik dalam hal
tersebut (Anthony & Philip, 2006).
Sulfur adalah zat
yang cukup menarik dalam akuakultur karena kepentingannya dalam sedimen anoksik.
Dalam kondisi aerob, sulfur organik berdekomposisi menjadi sulfida, dimana
selanjutnya teroksidasi menjadi sulfat. Sulfat sangat terlarut dalam air dan
secara gradual berdispersi dari sedimen. Oksidasi sulfida dimediasi oleh mikroorganisme
dalam sedimen, ini dapat terjadi karena proses kimia yang alamiah. Dalam
kondisi anaerob, sulfat mungkin saja digunakan di dalam metabolisme oksigen dari
mikroba. Muatan organik dapat menstimulasi produksi H2S dan
penurunan keragaman fauna bentik. H2S adalah gas yang mudah terlarut
dalam air dan telah diketahui sebagai penyebab terjadinya kerusakan insang dan
organ tubuh lainnya pada ikan dan udang. Gas H2S yang tidak
terionisasi adalah sangat beracun terhadap ikan dan udang dalam konsentrasi
tertentu pada tambak/kolam. Bakteri bentik fotosintesis yang mampu memecah H2S
pada dasar kolam telah digunakan dalam akuakultur untuk mendapatkan sistem yang
lebih ramah lingkungan. Bakteri ini mengandung bacterio-chlorophyl yang mampu menyerap cahaya (spektrum biru ke
infra merah, tergantung pada tipe bacterio-chlorophyl)
dan dapat melakukan fotosintesis di bawah kondisi anaerob. Terdapat bakteri
sulfur hijau dan ungu yang mampu tumbuh dalam kondisi anaerob pada sedimen
dasar air. Prosen fotosintesis bakteri ungu non-sulfur dapat mendekomposisi
bahan organik, H2S, NO2 dan limbah berbahaya lainnya
dalam kolam. Bakteri sulfur hijau dan ungu memecah H2S untuk memanfaatkan
gelombang cahaya yang tidak terserap oleh fitoplankton. Bakteri sulfur hijau
dan ungu menurunkan elektron dari H2S dengan pengeluaran energi yang
lebih rendah sehingga membutuhkan intensifitas cahaya lebih rendahs untuk
melakukan fotosintesis (Anthony & Philip, 2006).
3.3 Pengaruh
terhadap Penyebaran Penyakit
Bioremediasi telah digunakan
sebagai biokontrol mikroba patogen dalam akuakultur menggunakan mikroorganisme
antagonis. Studi mengenai peran bakteri antagonis terutama
bakteri co-existing, sebagai agen
biokontrol penting dalam mengurangi efek negatif dari antibiotik. Bakteri bioremediasi
berguna sebagai biological control agent
dalam akuakultur seperti Bakteri asam laktat (Lactobacillus, Carnobacterium dll.),
Vibrio (Vibrio alginolyticus), Bacillus, and Pseudomonas
(Singh et al., 2001). Studi in-vitro
mengenai aktivitas antagonisme
bakteri yang berasosiasi dengan larva udang penaeid yaitu Alteromonas, terhadap
beberapa patogen oportunistik yang menyerang krustasea. Studi menemukan bahwa spesies
Alteromonas mampu menekan
aktivitas dari bakteri patogen Vibrio harveyi serta menaikkan tingkat
keberlangsungan hidup dari larva udang Penaeus indicus secara in-vivo. Mikroba yang menguntungkan seperti isolat
bakteri non patogen Vibrio alginolyticus, dapat diinokulasikan ke
dalam tambak udang untuk menekan pertumbuhan spesies vibrio yang patogen seperti
Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio splendens. Selain itu, penggunaan Vibrio alginolyticus mampu menurunkan
peluang terjadinya infeksi oportunistik dari bakteri patogen (Moriarty, 1999).
3.4 Resiko
Bioremediasi pada Tambak Udang
Bioremediasi
memberikan banyak keuntungan dalam budidaya udang. Namun, bukan berarti
bioremediasi tidak memiliki resiko negatif. Sebagai contoh, penggunaan bakteri Bacillus masih diragukan secara
ekologis, hal ini karena bakteri tersebut normalnya tidak banyak pada
lingkungan perairan tambak, melainkan berada di sedimen perairan. Saat strain
tertentu dari Bacillus ditambahkan
ke air dengan kuantitas yang besar, mereka dapat memberikan akibatnya. Mereka
akan berkompetisi dengan bakteri lokal yang secara natural memang ada di
endapan bahan organik seperti feses dan sisa pakan (Kordi, 2007).
Penggunaan teknologi bioremediasi
harus dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu ekologi, ekonomi, keamanan,
dan efisiensi serta efektivitas. Pengaplikasian teknologi bioremediasi harus
disesuaikan dengan kondisi lingkungan tambak serta mengetahui daya dukung dan
daya lenting lingkungan. Kegiatan pengontrolan terhadap proses bioremediasi
harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sekitar, sehingga efek
negatif dari bioremediasi dapat diturunkan. Meskipun begitu, aktivitas
bioremediasi merupakan aktivitas yang resikonya tidak begitu besar (Ranjan et al., 2014).
4. Kesimpulan dan Saran
4.1
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari
ulasan ini adalah sebagai berikut:
1.
Bioremediasi memiliki
pengaruh terhadap tingkat keberlangsungan hidup, pertumbuhan, dan sistem imun
udang, serta mampu mengurangi akumulasi limbah organik dan gas H2S.
2.
Penelitian mengenai
bioremediasi di tambak udang masih belum banyak dilakukan sehingga masih perlu
dikaji lebih mendalam lagi
3.
Bioremediasi dapat
dilakukan oleh bakteri, mikro alga, rumput laut, kerang-kerangan, dan beberapa
zat kimia.
4.
Bioremediasi adalah
aktivitas yang minim resiko karena tidak banyak menimbulkan masalah pada
lingkungan.
5. Penggunaan teknologi bioremediasi
harus dilihat dari sudut pandang ekologi, ekonomi, keamanan, dan efisiensi
serta efektivitas. Pengaplikasian teknologi bioremediasi harus disesuaikan
dengan daya dukung dan daya lenting lingkungan tambak.
4.2 Saran
Tambak udang merupakan salah satu
penyumbang limbah organik terbesar dalam akuakultur. Akumulasi berbagai macam
limbah bisa sangat tinggi, sehingga diperlukan aktivitas bioremediasi untuk
mengembalikan lingkungan seperti semula. Bioremediasi bukan hanya menguntungkan
bagi lingkungan, namun juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan sistem
pertahanan tubuh udang sehingga menguntungkan dari segi ekonomi. Aplikasi
bioremediasi pada tambak udang sangat disarankan untuk mendapatkan hasil
budidaya udang yang lebih baik lagi.
Daftar
Pustaka
Anthony, S. P., & R. Philip. (2006).
Bioremediation in Shrimp Culture Systems. NAGA, WorldFish Center Quarterly,
29(3), 62–66.
Badjoeri, M.,
& Widiyanto, T. (2008). Penggunaan Bakteri Nitrifikasi untuk bioremediasi
dan pengaruhnya terhadap konsentrasi amonia dan nitrit di tambak udang. Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia, 34(2), 261–278.
Cung, I. K.,
Kang, Y. H., Yarish, C., P. Kraemer, G., & Ae Lee, J. (2002). Application
of Seaweed Cultivation to the Bioremediation of Nutrient-Rich Effluent. Algae,
17(3), 187–194.
Devaraja, T.,
Banerjee, S., Shariff, M., & Khatoon, H. (2013). A holistic approach for
selection of Bacillus spp. as a
bioremediator for shrimp postlarvae culture. Turkish Journal of Biology,
37, 92–100.
Effendi. (2003).
Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius.
Foon, N. J.
(2004). Effectivenes of Bacillus spp. on Ammonia Reduction and Improvement
of Water Quality in Shrimp Culture. Universiti Putra Malaysia, Kuala Lumpur.
Hafiluddin.
(2011). Bioremediasi Tanah Tercemar Minyak dengan Teknik Bioaugmentasi dan
Biostimulasi. Embryo, 8(1), 47–52.
Hanh, D. N.,
Rajchandari, B. K., & Annachhatre, A. P. (2008). Bioremediation of
sediments from intensive aquaculture shrimp farms by using calcium peroxide as
slow oxygen release agent. Environmental Technology, 26, 581–589.
Haseeb. (2012). Development
of Zero Water Exchange Shrimp Culture System Integrated with Bioremediation of
Detritus and Ammonia- Nitrogen. Cochin University of Science and
Technology, Kerala, India.
Izzati, M.
(2009). Efektifitas Sargassum plagyophullum
dan Gracilaria verrucosa dalam
Menurunkan Kandungan Amonia, Nitrit dan Nitrat dalam Air Tambak. Jurnal
Biologi UNDIP, 1–8.
Komarawidjaja,
W. (2003). Pengaruh aplikasi konsorsium mikroba penitrifikasi terhadap
konsentrasi amonia (NH3) pada air tambak. Jurnal Teknologi Lingkungan, 4(2),
62–67.
Kordi. (2007). Pengelolaan
Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta.
Marinho-Soriano,
E., Panucci, R. A., Carneiro, M. A. A., & Pereira, D. C. (2008). Evaluation
of Gracilaria caudata J. Agardh for
bioremediation of nutrients from shrimp farming wastewater. Bioresource
Technology, 100, 6192–6198.
Martinez-Cordova,
L. R., Lopez-Elias, J. A., Leyva-Miranda, G., Armenta-Ayon, L., &
Martinez-Porchas, M. (2011). Bioremediation and reuse of shrimp aquaculture
effluents to farm whiteleg shrimp, Litopenaeus
vannamei : a first approach. Aquaculture Research, 42,
1415–1423.
Martínez-Córdova,
L. R., López-Elías, J. A., Martínez-Porchas, M., Bernal-Jaspeado, T., &
Miranda-Baeza, A. (2010). Studies on the bioremediation capacity of the adult
black clam, Chione fluctifraga, of
shrimp culture effluents. Revista de Biología Marina y Oceanografía, 46(1),
105–113.
Moore, M.-L. (2003).
Effectiveness of a commercial probiotic for water and sludge management on
an inland shrimp aquaculture farm in Thailand. University of Victoria,
Victoria.
Moriarty, D. J.
(1999). Disease Control in Shrimp Aquaculture with Probiotic Bacteria. In Microbial
Biosystems: New Frontiers (pp. 1–7). Presented at the Proceedings of the
8th International Symposium on Microbial Ecology, Halifax, Canada.
Paniagua-Michel,
J., & Garcia, O. (2003). Ex-situ bioremediation of shrimp culture effluent
using constructed microbial mats. Aquaculture Engineering, 28,
131–139.
Ranjan, R.,
Siddhnath, & M., B. (2014). Bioremediation - A potential tool for
management of aquatic pollution. International Journal of Multidisciplinary
Research and Development, 1(7), 353–340.
Seema, C., &
Jayasankar, R. (2005). Removal of nitrogen load in the experimental culture
system of seaweed and shrimp. Journal of Marine Biological Association of
India, 47(2), 150–153.
Setyawan, A.
(2012). Bioteknologi Terhadap Lingkungan. Presented at the University of
Lampung, Bandar Lampung.
Su, Y., Ma, S.,
& Lei, J. (2011). Assessment of Pollutant Reducing Effect by Poly-Culture
and Bioremediation in Sediment of Marine Shrimp Ponds. In Sciverse
ScienceDirect (Vol. 10, pp. 1559–1567). Presented at the 2011 3rd
International Conference on Environmental Science and Information Application
Technology (ESIAT 2011), China.
Westermeyer, W.
E., Robert W. Niblock, & Andelin, J. (1991). Bioremediation For Marine
Oil Spills. Washington: US Government Printing Office.
Zokaeifar, H.,
Babael, N., Saad, C. R., Kamarudin, M. S., Sijam, K., & Balcazar, J. L.
(2014). Administration of Bacillus
subtilis strains in the rearing water enhances the water quality, growth
performance, immune response, and resistance against Vibrio harveyi infection in juvenile white shrimp, Litopenaeus
vannamei. Fish & Shellfish Immunology, 36(1), 68–74.
Apabila Anda mempunyai kesulitan dalam pemakaian / penggunaan chemical , atau yang berhubungan dengan chemical,oli industri, jangan sungkan untuk menghubungi, kami akan memberikan konsultasi kepada Anda mengenai masalah yang berhubungan dengan chemical.
ReplyDeleteSalam,
(Tommy.k)
WA:081310849918
Email: Tommy.transcal@gmail.com
Management
OUR SERVICE
Boiler Chemical Cleaning
Cooling tower Chemical Cleaning
Chiller Chemical Cleaning
AHU, Condensor Chemical Cleaning
Chemical Maintenance
Waste Water Treatment Plant Industrial & Domestic (WTP/WWTP/STP)
Degreaser & Floor Cleaner Plant
Oli industri
Rust remover
Coal & feul oil additive
Cleaning Chemical
Lubricant
Other Chemical
RO Chemical
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN BANK
ReplyDelete• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN OVO
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN GOPAY
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN DANA
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN SAKUKU
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN PULSA
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN LINKAJA
*Menyediakan Segala Jenis Judi Online Lengkap
Promo Spesial :
• Bonus 100% (Khusus Casino Sexy Baccarat & Sabung Ayam)
• Bonus Deposit Pertama Sebesar 10%
• Bonus Deposit Harian Sebesar 5%
• Bonus Rollingan 0.8% Setiap Minggu
• Bonus Referensi ajak teman 7% + 2% (Seumur Hidup)
LINK RESMI PENDAFTARAN » http://159.89.197.59/register/
KONTAK WA RESMI » https://bit.ly/kontak24jam
1#Livechat Bolavita
2#Livechat Bolavita